Pemda Bisa Menjadi "Tersangka Genosida" Jika Memaksakan PTM Terbatas?

 Mendikbud Nadiem Makarim saat melakukan Rapat Kerja bersama Komisi X DPR-RI pada Rabu, 25 Agustus 2021 seperti diberitakan di beberapa media online, curhat kepada para legislator senayan. Salah satu isi curhatannya adalah mengenai beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) yang masih melarang adanya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas, padahal daerah-daerah tersebut beberapa sudah turun levelnya berada diantara 1-3.

Pada kesempatan tersebut, Nadiem Makarim juga menyatakan bahwa Vaksinasi itu bukan pra kondisi atau kriteria pembukaan sekolah. Ia menegaskan syarat untuk membuka sekolah tatap muka bukan vaksinasi melainkan level PPKM kecuali level 4. 

Nadiem meminta dukungan para legislator untuk membantu mensosialisasikan PTM Terbatas untuk segera dilakukan, karena jika tidak maka korbannya adalah anak-anak (peserta didik) yang akan berdampak pada learning lost. 

Sementara itu dikesempatan lain Presiden Joko Widodo dalam akun Twitter resminya (19/8/2021) menyatakan bahwa "Apabila seluruh pelajar telah mendapatkan vaksinasi COVID-19, maka silahkan melaksanakan opsi belajar tatap muka secara terbatas di sekolah".

Menyikapi pernyataan Mendikbud tersebut tidak hanya membuat Pemda bingung untuk mengeluarkan kebijakan di daerah, tetapi kami para praktisi sekaligus pengamat kebijakan pendidikan juga terkadang bingung dengan pernyataan dan manuver yang dilakukan oleh Nadiem. Seolah Nadiem tidak ingin dipersalahkan sendiri atas learning loss yang akan dihadapi bangsa ini.

Sangat beralasan sekali Pemda yang tetap berkeras untuk tidak melaksanakan PTM Terbatas karena berpegangan pada asas bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat diatas segala-galanya. 

Terlebih kemendikbud tidak pernah pasang badan dan memberikan garansi jika terjadi perluasan dan penyebaran Covid-19 dikalangan peserta didik yang virusnya terus bermutasi tersebut, maka akan bertanggung jawab penuh selaku pengambil kebijakan pendidikan di level nasional.

Disisi lain, memang faktanya belum semua guru divaksinasi apalagi siswanya, jika tetap melaksanakan maka Pemda bisa saja dianggap mengabaikan perintah Presiden. Pemda yang berada di daerah lebih mengetahui dan memahami kondisi daerahnya masing-masing.

Garansi dan penanggung jawab PTM Terbatas harus jelas, jika tidak, maka guru-guru, kepala sekolah atau bahkan Pemda-lah yang mungkin akan menjadi kambing hitam penyebaran Covid-19 di sekolah, bahkan bisa dituduh telah melakukan Genosida terhadap generasi bangsa secara terencana dan pelaksanaan tahapan Asesmen Nasional (AN) yang terus dilakukan saat ini mulai dari simulasi hingga hari H pelaksanaan beberapa waktu kedepan membuat potensi berkumpulnya peserta didik dapat memicu  penyebaran Covid-19 semakin meningkat di samping PTM Terbatas itu sendiri.

Seolah-olah kemendikbud sudah menyerah dengan kondisi ini, karena sepertinya PTM Terbatas menjadi satu-satunya obat mujarab untuk mengatasi Learning Loss yang akan terjadi tersebut. Seolah-olah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan pendekatan yang buruk dalam pembelajaran. Dan mungkin saja PTM Terbatas yang terkesan dipaksakan ini guna mendukung suksesnya pelaksanaan AN kedepan.

Orang tua sebagai salah satu pilar dari Tri Pusat Pendidikan selain Sekolah dan Masyarakat saat ini memang sangat disibukkan dengan model PJJ yang ada saat ini. Dan sangat dimaklumi sekali tatkala orang tua keteteran bahkan sampai angkat bendera putih berharap PTM segera dibuka kembali.

Hal tersebut sangat wajar sekali mengingat sebagian besar mereka memang tidak pernah memperoleh pendidikan di LPTK untuk penguasaan kompetensi pedagogis, profesional, sosial dan spiritual, mereka tidak memiliki kemampuan bagaimana memotivasi, mendampingi bahkan mengajarkan konten mata pelajaran kepada putra-putrinya.

Negara harus hadir, dalam hal ini kemendikbud pastinya sudah memiliki data mengenai kelemahan-kelemahan PJJ, mestinya data-data tersebut ditindaklanjuti  dengan kebijakan-kebijakan untuk menekan bahkan memperbaikinya baik disisi sarana prasarana, kompetensi guru dan SDM pendidikan, menyiapkan platform dan kontennya, sampai dengan membentuk budaya si pembelajar-nya.

Sama halnya dengan pelaksanaan AN kedepan, kita sebenarnya sudah punya banyak data mengenai kekurangan pendidikan kita yang selama ini dilaksanakan dan selalu dinilai melalui internal kemendikbud (UN, PMP, AKSI, Dapodik dst) dan oleh pihak eksternal seperti PISA dan TIMSS serta World Bank yang menyatakan bahwa tingkat literasi peserta didik kita itu sangat rendah, masuk 10 besar terbawah dan hasilnya tidak berbeda jauh dari tahun ketahun. 

Bukannya memperbaiki kebijakan pendidikan dan proses pembelajarannya berdasarkan hasil/data yang sudah ada, malah kemendikbud kembali mengadakan AN (ujian/tes) untuk memperoleh data yang baru. Jika siswa terus diuji, kapan waktunya untuk memperbaiki?

Kemendikbud tidak pernah memiliki master plan yang utuh/holistik menghadapi kondisi semacam ini yang bisa saja terus berulang di tahun-tahun mendatang. Bisa saja akan ada Coronavirus-2022, Influenzavirus-2023, Rhinovirus-2024, Syncytialvirus-2025, atau Badai/cuaca ekstrim-2026 yang mengharuskan orang tetap berada dirumah serta berbagai jenis bencana lainnya. 

Seharusnya belajar dari pandemi covid-19 yang sudah lebih dari setahun ini, mestinya telah ada cetak biru pendidikan yang didalamnya memuat mengenai penanganan permasalahan atau kondisi semacam ini. Sehingga ketika ada kondisi serupa, sekolah dengan guru tinggal Flip saja.

Saatnya memperbaiki pendidikan kita dengan memanfaatkan data dan informasi yang sudah dimiliki oleh kemendikbud, termasuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas PJJ untuk kepentingan peserta didik kita, terlebih jika PJJ terus berlanjut kedepannya. 

Lonjakan Covid-19 Di Amerika Pada Anak-Anak

Sementara itu kantor berita Reuters merilis informasi mengenai lonjakan jumlah anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 di Amerika Serikat mencapai rekor tertinggi lebih dari 1.902 pada Sabtu, 14 Agustus 2021, ketika rumah sakit di seluruh Selatan diperluas untuk menangani wabah yang disebabkan oleh varian Delta yang sangat menular. 

Varian Delta, yang menyebar dengan cepat di antara sebagian besar populasi warga AS yang tidak divaksinasi, telah menyebabkan lonjakan rawat inap dalam beberapa pekan terakhir, menurut data dari Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS.

Anak-anak saat ini merupakan sekitar 2,4% dari rawat inap COVID-19 di negara itu. Anak-anak di bawah 12 tahun tidak memenuhi syarat untuk menerima vaksin, membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi dari varian baru yang sangat menular.

onjakan kasus baru telah meningkatkan ketegangan antara para pemimpin negara bagian yang konservatif dan distrik setempat mengenai apakah anak-anak sekolah harus diharuskan memakai masker saat mereka kembali ke sekolah akhir bulan Agustus ini.

Fathur Rachim

Ketua Umum HIPPER Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Cinta Buat Drs. KH. Pua Monto Umbu Nay

QURAN YANG DILUPAKAN

PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER DALAM DUNIA PENDIDIKAN